Selasa, 26 Februari 2013

Dunia Dalam Sebutir Telur

Tersebutlah seorang Hisyam bin Hakam, sahabat sekaligus murid seorang Ja'far Ash-Shadiq, seorang guru yang turut serta memberikan ilmu untuk pendiri mazhab Hanafi, Abu Hanifah dan mazhab Maliki, Malik bin Anas. Suatu hari, Hisyam bin Hakam bertemu dengan seorang atheis, yang tidak percaya akan adanya Tuhan. Sang Atheis itu bertanya: "Apakah Engkau, wahai Hisyam bin Hakam, percaya tentang adanya sang Pencipta?" "Tentu", jawab Hisyam bin Hakam dengan teguhnya. "Andai Dia berkuasa atas segala sesuatu, dapatkah DIA menempatkan seluruh dunia ini kedalam sebutir telur, tetapi telur itu tidak menjadi lebih besar, dan duniapun tidak menjadi lebih kecil? " Tanya Atheis itu. Hisyam terdiam sejenak. "Beri aku waktu untuk menjawabnya." Akhirnya Hisyam memutuskan untuk menemui gurunya, Ja'far Ash-Shadiq. Ja'far mendengarkan kata Hisyam tentang pertanyaan orang Atheis tersebut. Ia terdiam sejenak, kemudian tersenyum. "Hisyam, berapa banyak indra jasmani yang kau miliki di tubuhmu?" tanya Ja'far. "Lima." "Mana yang paling kecil dari kelima indra tersebut?" "Mataku" Jawab Hisyam. Ja'far tersenyum. "Berapa besar ukuran biji matamu?" "Tidak lebih besar dari biji kurma, bahkan lebih kecil darinya." "Lihatlah sekelilingmu Hisyam, diatasmu, dibawahmu, kiri dan kananmu, dan katakan, apa yang kau lihat." "Aku melihat langit, aku melihat tanah, rumah-rumah, hutan, gunung, sungai, matahari dan bulan " "Wahai Hisyam. Dia, Allah, yang mampu menempatkan semua benda yang kau lihat itu dalam sebuah benda sebesar biji kurma, pasti mampu menempatkan seisi alam semesta ini kedalam sebutir telur, sehingga dunia tidak menjadi lebih kecil, dan telur pun tidak menjadi lebih besar. "ujar Ja'far Ash-Shidiq. Kadang kita tidak memahami bahwa Tuhan sang Pencipta begitu hebatnya dengan semua yang Dia hadirkan untuk manusia di Dunia ini. Sangat sedikit sekali dari kita yang bisa bersyukur atas hal-hal yang terasa kecil dan tak berarti. Kita terlalu buta karena mata hati kita ditutupi oleh dosa dan tidak pernah bersyukur. Padahal, untuk menyadari dan mengerti akan Kebesaran Tuhan, kadang kita tidak hanya bisa melihat dengan mata kita, tetapi kita harus melihatnya dengan hati dan nurani kita.

Senin, 25 Februari 2013

Anda Bisa Pahami Sendiri

Kaum sufi adalah salah satu kelompok dalam Islam yang sangat banyak mendapatkan tantangan. Secara garis besar, tasawuf setidaknya menghadapi dua tantangan besar. Pertama; serangan dari dalam. Kedua; serangan dari luar, yaitu dari kelompok-kelompok anti tasawuf itu sendiri.



Kelompok pertama; Serangan berasal dari arah dalam layaknya musuh-musuh di dalam selimut. Mereka merusak sendi-sendi tasawuf dari dalam dengan manghancurkan ajaran-ajaran syari’ah dan akidah. Walaupun dalam bentuk pengrusakan yang sangat halus, bahkan mungkin dianggap tidak merugikan, namun kelompok pertama ini lebih berbahaya dari pada kelompok kedua. Jika kelompok kedua; mereka yang menentang tasawuf dapat dilihat secara fisik dan dengan kasat mata, maka kelompok pertama ini mungkin oleh sebagian orang Islam tidak dirasakan, terutama oleh kaum awam.



Karena itu, kelompok pertama ini memberikan pengaruh yang cukup signifikan dalam tercemarnya tasawuf, terutama dalam pengaruh perkembangannya pada masyarakat awam. Masuk dalam daftar kelompok pertama ini adalah faham-faham yang sengaja dimasukkan oleh kaum filsafat ke dalam tasawuf. Di antara akibat yang ditimbulkannya adalah munculnya penamaan tasawuf filosofis yang dilemparkan para kritikus tasawuf. Menurut mereka bahwa tasawwuf filosofis adalah hasil dari persentuhan tasawuf dengan unsur-unsur filsafat Yunani yang dibawa oleh kaum sufi sendiri. Masih menurut sebagian kritikus, tasawuf dalam tataran filosofis ini membawa faham yang sedikit banyak bersebrangan dengan ajaran-ajaran syari’at, dan itu, -menurut mereka-, secara yuridis adalah sesuatu yang legal dan dapat dibenarkan. Klaim ini jelas tidak menguntungkan bagi tasawuf sebagai sebuah disiplin ilmu yang mengajarkan untuk selalu berpegang teguh dengan syari’at Islam.



Masih dalam daftar kelompok pertama, kerugian yang dialami tasawuf dari dalam adalah masuknya faham-faham yang diusung oleh para sufi gadungan. Sebagaimana halnya setiap komunitas disiplin ilmu, ada yang sejati yang benar-benar kompeten dalam bidangnya, namun dan ada pula yang palsu. Demikian pula dalam komunitas tasawuf, ada komunitas sufi sejati (ash-Shûfiyyah al-Muhaqqiqûn), dan ada pula komunitas sufi gadungan (al-Mutashawwifah al-Dajjâlûn). Di antara faham-faham yang diusung oleh kaum sufi gadungan ini adalah keyakinan hulûl dan wahdah al-wujûd. Kenyataan ini jelas tidak hanya mencederai tasawuf tapi juga merusak ajaran Islam secara keseluruhan. Belum lagi termasuk penampilan fisik dan pakaian para sufi gadungan tersebut yang sulit dibedakan dari kaum sufi sejati, hal ini ikut memberikan pengaruh dan citra buruk yang cukup besar terhadap tasawuf, terutama implikasinya terhadap kalangan awam.



Adapun kerugian yang dialami tasawuf dari luar adalah dalam bentuk serangan-serangan dari kaum anti tasawuf itu sendiri. Kebencian kelompok kedua ini terhadap tasawuf sangat membabi buta, hingga tidak jarang mereka melemparkan klaim kafir terhadap para pengikut tarekat atau para pengikut tasawuf. Walau tasawuf itu sendiri tidak terpengaruh oleh gugatan-gugatan mereka, namun pengaruhnya pada orang-orang awam cukup berarti. Termasuk kelompok kedua yang merupakan tantangan bagi tasawuf dari luar adalah faham-faham yang disebarkan oleh sebagian golongan bahwa para ulama sufi tidak sejalan dengan ulama syari’ah. Pemerian dikotomi antara ilmu tasawuf dan ilmu syari’at semacam ini jelas tidak memiliki dasar sama sekali. Biasanya serangan semacam ini dilemparkan oleh orang-orang yang tidak paham benar hakekat tasawuf. Tudingan ini biasa dilemparkan oleh orang-orang yang secara gelap mata membenci tasawuf dan para ulamanya. Yang ada pada hati para pembenci tasawuf ini tidak lain hanya keinginan untuk memberangus tasawuf. Kebencian mereka sangat jelas dalam ungkapan-ungkapan mulut dan tulisan-tulisan mereka[1].



Kita katakan kepada mereka, para ulama sufi tidak lain adalah para ulama syari’ah, dan sebaliknya para ulama syari’ah tidak lain adalah para ulama sufi sendiri. Hampir semua kitab yang ditulis tentang biografi kaum sufi nama-nama yang dikutip di dalamnya tidak lain adalah para ulama syari’ah. Misalkan seperti Imam Muhammad Ibn Idris asy-Syafi’i; perintis madzhab Syafi’i, Abu Hanifah al-Nu’man Ibn Tsabit; perintis madzhab Hanafi, Malik Ibn Anas; perintis madzhab Maliki dan Ahmad Ibn Hanbal; perintis madzhab Hanbali dan para ulama syari’ah lainnya, tidak lain mereka adalah juga para ulama sufi[2].



Kita katakan pula kepada para pembenci tasawuf tersebut, pemimpin tertinggi kalian yang kalian anggap sebagai Imam; Ahmad Ibn Taimiyah al-Harrani sangat menghormati al-Junaid al-Baghdadi. Ia menyebut al-Junaid sebagai “Imâm al-Hudâ”. Lalu siapakah al-Junaid?! Semua orang terpelajar sudah pasti tahu bahwa beliau adalah seorang sufi besar, bahkan pemuka kaum sufi.



Kemudian Imam Ahmad Ibn Hanbal, yang kalian anggap dengan kedustaan kalian sebagai Imam madzhab bagi kalian, sama sekali tidak membeci para ulama sufi, bahkan menghormati mereka. Bila Imam Ahmad menghadapi suatu masalah maka ia akan meminta komentar dari Abu Hamzah dengan berkata: “Bagaimana pendapatmu wahai sufi?” [3].



Dari sini kita katakan kepada para pembenci tasawuf, siapakah yang kalian ikuti?! Apakah kalian bersama Ibn Taimiyah atau bersama Imam Ahmad Ibn Hanbal?! Atau memang kalian membawa ajaran dan keyakinan sendiri?! Bahaya apakah bagi syari’at Islam dari penamaan tasawuf, atau menamakan seorang yang saleh dengan sufi?! Ibn Hibban dalam kitab Shâhîh-nya (al-Ihsân Bi Tartîb Shâhîh Ibn Hibban) banyak mengambil periwayatan haditsnya dari orang-orang yang dikenal sebagai kaum sufi. Demikian pula Imam Ahmad dalam Musnad-nya, beberapa periwayatan haditsnya mengambil dari kaum sufi. Lalu Imam al-Baihaqi, beliau banyak sekali mengambil periwayatan haditsnya dari Abu ‘Ali ar-Raudzabari yang notabene seorang sufi terkemuka. Bahkan orang disebut terakhir ini adalah salah seorang pemuka dan pemimpin kaum sufi, beliau adalah murid dari al-Junaid al-Baghdadi.



Kemudian jika para pembenci tasawuf tersebut mengingkari istilah “sufi” atau “tasawuf” dari segi panamaan belaka karena dianggap tidak pernah ada sebelumnya (bid’ah), maka kita katakan kepada mereka: “Di dalam Islam banyak sekali nama-nama atau istilah-istilah yang dahulu tidak pernah ada, seperti istilah “Syaikh” bagi seorang yang alim, atau “Syaikh al-Islâm” atau apapun namanya yang bahkan kalian sendiri mempergunakannya. Demikian pula penamaan disiplin-disiplin ilmu, seperti Ilmu Sharaf, Ilmu Nahwu, Ilmu Balghah, Ilmu Tafsir, Ilmu Hadits dan lainnya, nama-nama tersebut adalah sesuatu yang tidak pernah dikenal sebelumnya”.



Kemudian jika para pembenci tasawuf tersebut mengingkari tasawuf dan orang-orang sufi hanya karena bahwa mereka meninggalkan kesenangan-kesenangan duniawi, maka berarti mereka telah mengingkari keteladanan-keteladanan yang dicontohkan oleh para Rasul bagi umatnya. Bukankah Rasulullah mencontohkan hidup zuhud?! Bukankah hal itu juga diajarkan oleh seluruh para nabi Allah?! Lihat misalkan perjalanan hidup nabi Isa yang dipenuhi dengan perjuangan dalam menegakan tauhid dan menjauhi kesenangan-kesenangan duniawi. Diriwayatkan bahwa nabi Isa tidak memiliki harta benda, rumah, keluarga, bahkan makanan yang beliau makan hanya berasal dari daun-daunan, dan pakaian yang beliau pakai hanya berasal dari bulu binatang yang kasar. Lihat pula keteladanan yang dicontohkan nabi kita; nabi Muhammad, rumah beliau hanya terbuat dari kayu atau batang kurma yang sangat sederhana, beliau tidur dengan hanya dengan beralaskan pelepah-pelepah kurma kering, dapur beliau terkadang satu bulan hingga dua bulan tidak pernah tersentuh api karena tidak ada bahan yang hendak dimasaknya, makanan yang seringkali beliau makan hanyalah air putih dan kurma saja. Demikian pula dengan seluruh para Nabi Allah tidak ada seorangpun dari mereka yang mementingkan kesenangan duniawi.



Firman Allah yang sering disalahartikan oleh para penyerang tasawuf:



قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ (الأعراف: 32)



“Katakanlah wahai Muhammad: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan bagi para hamba-Nya dan siapakah yang mengharamkan kebaikan-kebaikan dari rizki-Nya?!”. (QS. al-A’raf: 32)



Ayat ini seringkali dijadikan dalil oleh mereka untuk menyerang kaum sufi yang meninggalkan kesenangan dunia tersebut. Pemahaman mereka terhadap ayat ini jelas salah kaprah dan sangat keliru. Kita harus membedakan antara pemahaman “mengharamkan sesuatu yang halal” dan “meninggalkan sesuatu yang halal”. Para ulama sufi sejati tidak seorangpun dari mereka yang mengharamkan sesuatu yang nyata halal di dalam syari’at. Namun mereka hanya meninggalkan kebanyakan perkara-perkara halal, untuk tujuan meneladani apa yang telah dicontohkan para nabi, karena meninggalkan kesenangan dunia akan sangat membantu dalam meningkatkan ketakwaan kepada Allah, melatih kesabaran, mendidik sikap ridla dengan segala ketentuan Allah, serta banyak faedah-faedah lainnya. Lebih dari cukup bagi kita sebagai bukti bahwa meninggalkan kesenangan duniawi adalah keteladanan yang telah contohkan oleh Rasulullah.



Imam Abu Nashr as-Sarraj dalam al-Luma’ membuat sebuah sub judul bantahan terhadap pendapat yang mengatakan bahwa tasawuf tidak memiliki landasan al-Qur’an dan Sunnah. Beliau menyebutkan bahwa dalam al-Qur’an dan Hadits banyak ditemukan teks-teks yang dapat dijadikan dalil bahwa tasawuf memiliki landasan yang sangat kuat. Dalam al-Qur’an disebutkan kata-kata seperti ash-Shadiqîn, al-Qânitîn, al-Khâsyi’în, al-Muqinîn, al-Mukhlishîn, al-Khâ’ifîn, al-Muhsinîn, al-‘Abidin, al-Sâ’ihîn, al-Shâbirîn, al-Mutawakkilîn, al-Mukhbitîn, al-Muqarrabîn, al-Abrâr, al-Auliyâ’ dan lainnya. Kemudian dalam banyak hadits juga disebutkan beberapa sifat dari kalangan sahabat dan dari kalangan tabi’in. Seperti sahabat ‘Umat Ibn al-Khaththab yang oleh Rasulullah disabdakan:



إنّ مِنْ أُمّتِي مُكَلَّمِيْنَ وَمُحَدَّثِيْنَ، وَإنّ عُمَرَ مِنْهُمْ



“Sesungguhnya dari umatku terdapat Mukallamin dan Muhaddatsin [diberi karunia oleh Allah untuk mengetahui beberapa rahasiah], dan sesungguhnya ‘Umar adalah termasuk dari mereka”.



Dalam hadits lain, Rasulullah bersabda:



رُبَّ أشْعَثَ أغْبَرَ مَدْفُوْعٌ إلَى الأبْوَابِ لَوْ أقْسَمَ عَلَى اللهِ لَأَبَرَّهُ. (رَوَاهُ مُسْلِمٌ فِي الصّحِيْح)



“Berapa banyak orang yang berpenampilan lusuh, compang-camping dan berdebu, terusir dari pintu-pintu, padahal bila mereka bersumpah kepada Allah maka Allah akan mengabulkannya”. (HR. Muslim dalam kitab Shâhîh-nya)



Tentang seorang manusia terbaik dikalangan tabi’in bernama Uwais al-Qarani, Rasulullah menggambarkannya dalam sebuah hadits:



يَدْخُلُ بِشَفَاعَةِ رَجُلٍ مِنْ أمّتِي الْجَنَّةَ مِثْلُ رَبِيْعَةَ وَمُضَرٍ، وَيُقَالُ لَهُ أوَيْسٌ القَرَنِيّ



“Akan masuk surga segolongan manusia sejumlah orang-orang dari kabilah Rabi’ah dan kabilah Mudlar dengan hanya syafa’at satu orang dari umatku, orang itu adalah Uwais al-Qarani”.



Teks-teks al-Qur’an dan hadits nabi dalam menyebutkan sifat-sifat di atas, dan beberapa teks lainnya yang cukup banyak jumlahnya, semuanya membicarakan tentang satu golongan dari umat Muhammad ini yang tidak lain mereka adalah kaum sufi. Sudah barang tentu orang-orang yang digambarkan dalam teks-teks hadits tersebut bukan isapan jempol belaka, dan orang-orang yang disinggung di dalamnya bukan sosok-sosok fiktif. Namun itu semua adalah gambaran nyata tentang sifat-sifat kaum sufi. Dan oleh karena sifat-sifat semacam itu merupakan teladan yang diajarkan oleh Rasulullah maka usaha-usaha untuk meraihnya akan terus ada dalam setiap zamannya, sesuai dengan keberlangsungan berlakunya ajaran-ajaran al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah sepanjang masa. Penyebutan sifat mereka dalam al-Qur’an dan hadits inilah yang menjadikan mereka memiliki keistimewaan atas orang-orang mukmin lainnya. Itulah yang dimaksud dengan orang-orang sufi[4].



***************** catatan kaki ***********************



[1] Termasuk dalam daftar pembenci tasawuf adalah kelompok Wahhabiyyah. Secara membabi buta dan dengan emosi serta tanpa alasan yang jelas mereka menyerang tasawuf dari berbagai segi. Ungkapan-ungkapan mereka tidak hanya menyulut permusuhan, tapi juga sangat provokatif, buruk dan norak. Sebagian mereka berkata: “Tidaklah seseorang masuk dalam tasawuf di pagi hari kecuali di sore harinya akan menjadi gila”. Sebagian orang dari kelompok Wahhabiyyah ini menamakan dirinya dengan kelompok Salafi, karena -menurut mereka- membawa misi untuk menghidupkan kembali ajaran-ajaran ulama Salaf. Sebenarnya nama yang pantas untuk mereka adalah kelompok Talafi; kelompok perusak akidah dan syari’ah. 



[2] Lihat misalkan dalam ath-Thabaqât al-Kubrâ karya asy-Sya’rani, Hilyah al-Auliyâ’ karya Abu Nu’aim dan lainnya; para ulama syari’at tidak lain adalah para ulama sufi sendiri. Karena itu dalam kebanyakan definisi seorang sufi adalah seorang yang mengetahui ajaran-ajaran syari’at dan konsisten mengamalkannya.



(Muzammiel Hasbie Alkahfi)

Jumat, 01 Februari 2013

Toleransi Hasan Bashri Bertetangga dengan Nasrani

Kekaguman para sahabat dan murid-muridnya tak menggetarkan pribadi Hasan Al-Bashri untuk tetap hidup penuh kesederhanaan. Di rumah susun yang tidak terlalu besar ia tinggal bersama istri tercinta. Di bagian atas adalah tempat tinggal seorang Nasrani. Kehidupan berumah tangga dan bertetangga mengalir tenang dan harmonis meski diliputi kekurangan menurut ukuran duniawi.

Di dalam kamar Hasan Al-Bashri selalu terlihat ember kecil penampung tetesan air dari atap kamarnya. Istrinya memang sengaja memasangnya atas permintaan Hasan Al-Bashri agar tetesan tak meluber. Hasan Al-Bashri rutin mengganti ember itu tiap kali penuh dan sesekali mengelap sisa percikan yang sempat membasahi ubin. 

Hasan tak pernah berniat memperbaiki atap itu. “Kita tak boleh mengusik tetangga,” dalihnya.

Jika dirunut, atap kamar Hasan Al-Bashri tak lain merupakan ubin kamar mandi seorang Nasrani, tetangganya. Karena ada kerusakan, air kencing dan kotoran merembes ke dalam kamar Sang Imam tanpa mengikuti saluran yang tersedia.

Tetangga Nasrani itu tak bereaksi apa-apa tentang kejadian ini karena Hasan Al-Bashri sendiri belum pernah mengabarinya. Hingga suatu ketika si tetangga menjenguk Hasan Al-Bashri yang tengah sakit dan menyaksikan sendiri cairan najis kamar mandinya menimpa ruangan Hasan Al-Bashri.

“Imam, sejak kapan engkau bersabar dengan semua ini,” tetangga Nasrani tampak menyesal.

Hasan al-Bashri hanya terdiam memandang, sambil melempar senyum pendek.

Merasa tak ada jawaban tetangga Nasrani pun setengah mendesak. “Tolong katakan dengan jujur, wahai Imam. Ini demi melegakan hati kami.”

Dengan suara berat Hasan Al-Bashri pun menimpali, “Dua puluh tahun yang lalu.”

“Lantas mengapa engkau tidak memberitahuku?”

“Memuliakan tetangga adalah hal yang wajib. Nabi kami mengajaran, ‘Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka muliakanlah tetangga’. Anda adalah tetangga saya,” tukasnya lirih.

Tetangga Nasrani itu seketika mengucapkan dua kalimat syahadat. (Mahbib Khoiron)

Jajal, kowe iso nglakoni sing koyo ngono kuwi...??? Prek...

HUMOR GUS DUR

Sejak berada di Mesir, Habib Abu Bakar bin Hasan al-Atthas berteman baik dengan Gus Dur. Jarak dan rasa sungkan sudah lama putus di antara keduanya.

Suatu hari Gus Dur dan Habib menginap di sebuah hotel di Jawa Barat. Habib tahu, teman karibnya ini selalu minta dibayar tiap kali di hotel atau rumah makan. Kali ini, ia ingin menguji “kebakhilan” Gus Dur.

Saat tiba waktu check-out, Habib keluar kamar lebih dulu.

“Tolong nanti yang bayar penginap di kamar nomor ini. Namanya KH Abdurrahman Wahid,” ucap Habib kepada kasir hotel.

Dengan dituntun, Gus Dur ke arah pintu keluar sambil celingukan.

“Di mana habib itu?” sergahnya.

Sejenak kemudian, langkahnya tertahan.

“Maaf Pak Yai, urusan kamar Pak Yai sama Habib belum beres,” kata kasir hotel.

Cucu pendiri NU ini bingung, “Maksudnya?”

“Pembayarannya.”

“Waduh…” Gus Dur menepuk jidat. “Mana bawa uang aku. Ya udah utang dulu aja, ya,” tutur Gus Dur sembari menyodorkan KTP.

Di depan pintu hotel, Habib cekikikan dari dalam taxi yang sedang diam di pelataran.